Beberapa waktu belakangan ini, wacana mereformasi dunia pendidikan kembali mencuat ke publik. Munculnya rencana penyederhanaan kurikulum pendidikan, perubahan tata kelola sekolah, dan sederet inovasi berbasis teknologi ini disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang baru dilantik, Nadiem Makarim.
Wacana ini bisa jadi bukan lah omong kosong bila melihat siapa yang “melempar” ide ini adalah seorang inovator berhasil di bidang teknologi sekaligus pendiri perusahaan rintisan (startup) berstatus decacorn, Gojek.
Bila ditelaah apa yang muncul ke publik adalah ide perubahan sistem kurikulum pendidikan yang lebih sederhana. Hal tersebut lebih menekankan terhadap pembuatan kurikulum yang lebih fleksibel hingga berlanjut pada tata kelola organisasi sekolah.
Menteri baru menilai kurikulum yang dipakai saat ini terasa kaku dan perlu menyesuaikan dengan zaman. Sedikit contoh rencana perubahan kurikulum adalah pada tingkatan SMP dan SMA sudah tidak memasukkan lagi mata pelajaran (matpel) bahasa inggris karena sudah dimasukkan di SD. Nantinya, pada tingkat SD fokus matpel utama adalah bahasa indonesia, bahasa inggris, matematika, serta pendidikan karakter berbasis agama dan pancasila.
Kita perlu mengapresiasi tentang ide penyederhanaan kurikulum, serta tata kelola sekolah, dan lain-lain yang menjadi impian menteri baru tersebut. Sistem pendidikan memang harus menyesuaikan dengan zaman. Tetapi fokus paling utama adalah tentang bagaimana treatment yang tepat dan kita butuhkan di era teknologi saat ini.
“Kita perlu mengetahui sejarah bangsa, kebudayaan, kesenian, sebagai jati diri kita. Karena hal itu adalah kekayaan bangsa dan semestinya dapat membuat kita lebih kreatif dan inovatif”
Kemanakah prioritas bangsa di zaman teknologi ini? Apakah benar mereka mengetahui apa yang diperlukan? Akankah kita mempercayakan begitu saja terhadap para pengambil keputusan saat ini?
Sebetulnya banyak ilmu yang bisa kita dapatkan di luar sekolah dengan mudah. Tetapi seharusnya, kemudahan ini juga ada di dalam sekolah. Persoalan di dalam sekolah saat ini adalah anak-anak perlu diajarkan mengenai cara berkolaborasi yang tepat.
Berkolaborasi adalah langkah tepat di sekolah supaya dapat mewujudkan interaksi yang lebih baik. Berkolaborasi dilakukan dengan komunikasi yang terjalin antara guru dengan murid dan juga pihak lain dengan harapan melahirkan hasil pendidikan dan generasi yang berkualitas.
Selain penyederhanaan kurikulum, wacana lain adalah soal peningkatan kesejahteraan guru. Guru adalah faktor penentu bagaimana keberhasilan pendidikan dan karakter generasi kita selanjutnya. Kita tidak boleh mengenyampingkan tugas guru di era teknologi ini. Teknologi tidak akan bisa menggantikan peran guru. Teknologi adalah alat, bukan segalanya. Teknologi tidak bisa membentuk karakter murid dengan baik.
Maka sebaiknya kita perlu merenungkan semua wacana ini lebih mendalam. Ada beberapa hal untuk direnungkan yakni pertama adalah keseriusan untuk membenahi nasib guru. kita perlu memberikan penghargaan setimpal kepada para guru dengan memperhatikan gaji dan kesejahteraan mereka.
Kedua, reformasi assessment dan pendidikan para guru ke arah baru. Para guru perlu dibimbing untuk lebih menyesuaikan dengan zaman khususnya soal teknologi. Meskipun, kebanyakan guru sudah “melek”, tetapi perlu penyuluhan bagi guru-guru yang berada di wilayah terpencil.
Ketiga, adalah mereformasi fasilitas yang diterima oleh guru. Negara singapura dan china telah memberlakukan aturan bebas pajak bagi guru.
Keempat, membuka ruang berdiskusi untuk menentukan kurikulum baru yang bisa menyesuaikan kondisi Indonesia untuk 10-25 tahun mendatang.
“Tanpa guru dan dosen yang baik dan komitmen dalam membangun generasi muda bangsa, sangatlah berat atau boleh dibilang mustahil kebijakan pendidikan baru akan berhasil,”
-Kiwi Aliwarga, CEO UMG Idealab.